Mungkin sebagian kita bertanya-tanya, apa indahnya hutan bambu? Tapi, hutan yang berada di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur ini, memang memiliki pesona yang mengagumkan. Hutan seluas sembilan hektar ini berada di tengah-tengah di antara desa-desa yang mengitarinya.
Sekitar 250 rumpun bambu, yang terdiri dari 10 jenis bambu (apus, petung ungu, petung hijau, ori, ampel hijau, ampel kuning, cina, rampai, putih dan jajag), membentuk lorong-lorong yang menaungi jalan-jalan ke desa sekitar. Ke arah utara dibatasi aliran sungai Besuktunggeng masuk Desa Pasrujambe Kecamatan Pasrujambe; ke selatan masuk Desa Sumberwuluh Kecamatan Sumberwuluh; ke timur masuk Desa Penanggal Kecamatan Candipuro; sedangkan ke arah barat berbatasan dengan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS).
Panorama di hutan makin terasa keindahannya bila pagi hari. Hawa sejuk, sinar mentari yang menerobos masuk di sela-sela batang dan dedaunan bambu, menyiratkan keelokan alam yang tak terkira. Apalagi menyaksikan orang-orang desa yang tengah mandi atau mencuci baju di kolam, sambil mendengar gemeremang cengkerama diselingi tawa-tawa kecil mereka. Sungguh fantastis!
Bak sebuah kebun binatang, hutan yang berlokasi di 35 kilometer arah barat dari Kabupaten Lumajang, atau delapan kilometer dari Kecamatan Candipuro dengan ketinggian di atas 700 meter dari permukaan laut (dpl) ini, juga dihuni banyak satwa. Diantaranya, kera yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 50 ekor, ribuan kalong, tupai dan macan.
Dan, ini yang paling menyejarah dalam pelestarian hutan bambu maupun kehidupan masyarakat Sumbermujur dan sekitarnya, adalah keberadaan sumber mata air di situ. Warga desa memanfaatkan sumber air itu, baik untuk minum maupun sumber irigasi sawah pertanian.
Oase Warga
Keberadaan hutan bambu sudah ada sejak zaman Belanda mengangkangi bumi pertiwi ini. Saat itu, Belanda menganjurkan kepada masyarakat untuk menanam tanaman keras termasuk bambu selain pertanian. Tapi sejak pemerintahan Jepang, masyarakat dikenalkan dan diajari menganyam bambu sebagai kerajinan, yang turun-temurun hingga sekarang.
Sialnya, bahan baku anyaman bambu diambilkan dari hutan bambu yang merupakan tiang penyangga sumber air satu-satunya di situ. Tak urung, lama-kelamaan sumber air mengering seiring dengan pembabatan hutan bambu yang terus dilakukan. Sejak diperkenalkannya kerajinan anyaman bambu di Sumbermujur di kaki Gunung Semeru, usaha pertanian sempat terbengkalai.
Tanaman padi paling tinggi menghasilkan 2-3 ton per ha. Ini terutama disebabkan semakin kecilnya debit sumber air Umbulan yang selama ini menjadi sumber irigasi. Mengecilnya debit sumber air antara lain disebabkan hutan bambu yang berfungsi sebagai resapan air mulai habis ditebangi.
Akhirnya, perusakan hutan yang mengancam lingkungan itu menyentak kesadaran Herry Gunawan, 52 tahun, untuk menghentikannya. Bersama Kelompok Tani Kali Jambe yang dibentuk pada akhir 1970-an, berusaha menyadarkan masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan yang berpengaruh terhadap usaha pertanian di desa itu. Kelompok Tani Kali Jambe kemudian diubah namanya menjadi Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam (KPSA) “Kali Jambe”. Kelompok inilah yang kemudian mampu menyadarkan warga perajin bambu beralih profesi menjadi petani dan pedagang, dan kemudian bersama anggota kelompok lainnya merawat rumpun bambu hingga lebat kembali.
Dulu, menurut Herry Gunawan, ketua KPSA Kali Jambe, debit air Umbulan pernah mencapai 1333 liter per detik. Namun, karena pembabatan hutan bambu dan hutan di TNBTS masih terjadi, terutama sejak bergulirnya reformasi pada 1999, akibatnya baru dirasakan setelah lima tahun kemudian (2003, red), yaitu debit air menurun hingga mencapai 600-800 liter per detik. Toh masih untung, debit air itu masih mampu mengairi sekitar 891 ha sawah, termasuk 376 ha sawah di Sumbermujur dan tiga desa lainnya, yakni Kloposawit, Tambakrejo dan Penanggal.
Boleh dikata, upaya Herry bersama KPSA-nya sejak 1979 cukup berhasil memulihkan kondisi lingkungan Desa Sumbermujur. Hutan bambu tetap terjaga kelestariannya, dan produksi padi pun meningkat menjadi 4-5 ton per ha.
Wisata IntegralTerjaganya kelestarian hutan bambu, sehingga menyembulkan keindahan panorama alam di Sumbermujur, sangat beralasan bila Herry berangan-angan nantinya hutan bambu bisa menjadi obyek wisata berwawasan lingkungan (agrowisata) yang banyak dikunjungi wisatawan. Tapi untuk mewujudkan impian itu, diakui, memang tak semudah membalik tangan.
Hal terpenting yang selalu ditekankan olehnya adalah kesadaran bersama dalam menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Karena itu, penajaman demi penajaman akan pentingnya lingkungan bagi kelangsungan hidup selalu dilakukan dalam berbagai forum dan kesempatan. Baik pada saat tahlilan, atau lewat lembaga-lembaga desa yang ada.
Herry khawartir, “Kalau tidak ada yang berpihak kepada lingkungan dan berkelanjutan, nantinya akan hancur, mungkin 10 atau 20 tahun lagi. Karena itu kita membuat gerakan, agar angan-angan ini bisa terwujud.” Berkelanjutan yang dimaksud Herry adalah bagaimana generasi kini dan mendatang juga memiliki kesadaran yang sama untuk menjaga kelestarian hutan. Bahkan bila mungkin, usulnya, soal lingkungan bisa dimasukkan dalam kurikulum, menjadi satu mata pelajaran sejak sekolah dasar. Kalau ini berhasil, maka apa yang dinikmati sekarang juga sama bisa dinikmati generasi berikutnya.
Selain usulan itu, dengan prinsip: “jangan wariskan air mata kepada anak cucu kita, tapi wariskan sumber mata air yang berlimpah ruah dan tanah yang subur kepada mereka,” Herry terus mengajak kepada warga desa untuk menanam tanaman keras. Meski sebagian mereka menganggap, kalau ditanami tanaman keras, tanaman tumpang sarinya tidak menghasilkan secara maksimal karena ternaungi tanaman keras.
“Tapi kalau tidak ada tanaman keras, pada musim kemarau seperti saat ini, mau tanam apa. Ini yang sekarang kita rasakan, apalagi nanti. Kalau tidak mau menanam tanaman keras seperti kayu-kayuan, cobalah tanam tanaman keras buah-buahan yang bernilai ekonomis dan puluhan tahun umurnya, seperti durian atau yang lain,” tandasnya.
Soalnya, lanjut Herry, tanaman keras itu berfungsi menyangga resapan air hujan, yang tidak mampu ditampung oleh hutan bambu yang luasnya hanya 9 ha itu. Sekaligus para petani bisa mendapat tambahan penghasilan dari hasil tanaman keras tersebut. Kalau fungsi-fungsi penyangga keseimbangan alam sudah berhasil dilakukan, Herry meyakinkan, angan-angan Desa Sumbermujur dengan hutan bambunya menjadi agrowisata akan benar-benar bisa terwujud.
Selain itu, ia mengandaikan, obyek wisata ini akan makin menarik para wisatawan, kalau keelokan hutan bambu bisa diintegrasikan dengan keindahan alam yang lain, yaitu Gunung Sawur. “Kami pernah mengusulkan, agar obyek wisata hutan bambu dikemas jadi satu dengan Gunung Sawur. Sayangnya, hingga kini belum ada respon,” gerutunya.
Sebetulnya, katanya, Gunung Sawur mempunyai potensi yang sangat indah. Di situ ada tempat pemantauan gunung semeru. Itu indah sekali, hanya belum tersentuh. Di sana ada sumber air, meski kecil. “Rasanya cukup kalau hanya untuk kolam renang,” ujarnya. Bahkan, jauh sebelum ramai-ramainya Bromo, biasanya para wisatawan asing diajak ke Gunung Sawur.
“Alangkah baiknya, kalau ada tempat kolam renang, ada villa untuk menikmati keindahan kota Lumajang dan sekitarnya, atau melihat Gunung Semeru di malam hari yang menyemburkan lava bagai emas berlian. Sangat indah,” tegasnya. “Saya berharap ada investor yang tertarik dan membuat villa di sana. Ketika ada tamu dari mana saja dikenalkan ke sana. Ini ujud sosialisasi. Minimal ada pejabat yang berkeinginan seperti itu, sehingga akan berdampak pada cepatnya penyebaran informasi, sekaligus akan dapat mengangkat ekonomi masyarakat sekitar.”
Sentra SouvenirKeuletan Herry bersama kelompok tani lainnya, setidaknya sudah membuahkan hasil, dengan dianugerahkannya penghargaan Kalpataru pada 2002 untuk kategori penyelamat lingkungan. Sejak tahun 2002 itu, gaung hutan bambu sudah meluas, sehingga banyak kunjungan yang itu bisa menambah pendapatan orang di desa sekitar. Wisatawan asing yang sudah pernah mampir di hutan bambu, katanya, diantaranya dari Belanda dan Jerman. Berbagai kegiatan lingkungan juga pernah di selenggarakan di situ.
Seiring waktu, sedang diupayakan kelengkapan fasilitas sebagaimana layaknya obyek wisata. Tapi, dengan tegas Herry mengatakan, penambahan fasilitas itu harus tetap berada pada koridor pelestarian lingkungan. “Kami tidak ingin di hutan bambu ini ada satu bangunan pun. Kalaupun ada bangunan hotel sebagai tempat penginapan atau sarana lainnya, kita arahkan di daerah bawah, di desa dan bukan dalam hutan bambu,” katanya.
Kalau wisata ini sudah kenal luas, ia menyarankan, masyarakat atau petani harus siap. Jangan hanya seperti ini. Harus bisa berbuat yang bisa mendatangkan uang. Walau sementara ini belum, tapi konsepnya, menurut herry, harus ada budidaya berbagai jenis tanaman kembang di pot-pot untuk dijual. Dan, budidaya ikan hias sebagai pendukung karena air yang melimpah ruah.
Untuk itu, ia terus melakukan publikasi untuk mendorong masyarakat mau mencontoh dan menanam di sekitar rumahnya. Selain untuk dikonsumsi sendiri, dan menggiring petani ke arah pembibitan tanaman buah-buahan. Kalau tanamannya sedikit tidak perlu membuat grand house karena itu sudah organik. Meski demikian, menurutnya, untuk merealisasikan gagasan itu tidak semudah yang dibayangkan. “Membutuhkan proses,” imbuhnya.
Setidaknya, tanaman padi organik yang dikembangkan Herry bersama kelompok tani di lahan sekitar 25 ha, juga mampu menjadi daya tarik tersendiri. Di samping tanaman hortikultura, seperti cabe, tomat dan kubis yang menghampar di tegalan desa. “Cukup menarik lah apa yang ada di sini menjadi daya tarik wisata. Asal sungguh-sungguh kita ingin menjadikan daerah ini menjadi kawasan agrowisata,” tuturnya.
Harapan itu nyatanya tidak bertepuk sebelah tangan dengan impian pemerintah Kabupaten Lumajang. Seperti dijelaskan Suharwoko, Kepala Sub Bagian Pariwisata Bagian Ekonomi Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Lumajang, pemerintah sangat mendukung upaya yang dikembangkan masyarakat dan aparat setempat terhadap kawasan Hutan bambu itu. Rencananya, di kawasan itu akan dibangun kolam renang yang lebih layak, dan ditambah pula tempat santai bagi pengunjung.
Di samping itu, aparat desa pun memberi dukungan dengan mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 1 Tahun 2001 yang menetapkan sanksi Rp 50.000 per batang bagi siapa saja yang menebang bambu di kawasan hutan bambu. Selain itu, dikeluarkan pula Perdes Nomor 2 Tahun 2001 mengenai larangan memburu dan menggembalakan segala jenis hewan di kawasan hutan bambu.
Herry sendiri nampaknya masih terus berpikir untuk meningkatkan pendapatan warga, terutama anggota kelompok KPSA Kali Jambe. Di antaranya yang dilakukan membudidayakan tanaman murbei yang mampu menahan erosi, sekaligus bisa jadi sumber penghasilan dengan memelihara ulat sutera alam. -hm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar